Tanggapi Isi Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, FH USU Adakan Diskusi Online Terbuka

Oleh: Arnoldus/Jesri Bangun
Suara USU, Medan. FH USU telah mengadakan diskusi online bertajuk “Implikasi Putusan MKRI No. 91/PUU-XVIII/2020 Terhadap Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja”, yang dilaksanakan secara virtual melalui platform zoom meeting, pada Sabtu (26/11).
Acara ini menghadirkan narasumber Febri Indra Gunawan sebagai kuasa hukum pemohon Yudicial Review UU Cipta Kerja, yang merupakan alumni dari Fakultas Hukum USU. Acara yang dihadiri oleh sekitar 150 peserta yang terdiri dari Dekan FH USU, beberapa guru besar, dosen, alumni, dan para mahasiswa. Pada awal acara MC menyampaikan bahwa acara ini terselenggara secara spontan sebagai respon Fakultas Hukum terhadap dikeluarkannya putusan MKRI N0.91/PUU-XVIII/2020.
“Dari dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi yaitu tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat banyak hal yang harus perlu dipahami, dikarenakan putusan ini memiliki dampak yang tidak sedikit," ungkap Dekan FH USU dalam kata sambutannya.
Beliau juga mengatakan bahwa Fakultas Hukum adalah sahabat Pengadilan, di mana Fakultas Hukum bisa berimplikasi baik dari dari segi positif maupun negatif.
Kemudian acara dilanjutkan ke sesi diskusi yang dipimpin oleh moderator, Afnila. Dalam jalannya diskusi, Febri selaku narasumber mengungkapkan bahwa metode omnibus law tidak cocok dengan sistem hukum Indonesia.
“Bisa diterapkan omnibus bila tidak bertentangan dengan lampiran 2. Ada banyak bentuk penyerderhanaan UU tidak hanya dengan cara omnibus, bagaimana bisa menyederhanakan 62 Undang-undang dalam waktu 1 tahun, itu sangat tidak masuk akal," ungkap Febri.
Setelah narasumber menyampaikan materi yang berisi putusan dan komentarnya, para peserta dipersilahkan untuk menyampaikan pendapatnya. Pada sesi ini banyak keragaman pendapat mengenai UU Omnibus Law dan putusannya. Salah satu guru besar mengatakan bahwa aturan yang diatur oleh undang-undang berbentuk omnibus law ini membuat tidak jelas kondisi hukum itu sendiri.
“Saya ambil contoh tentang perseroan terbatas, di mana undang-undang ini membolehkan satu orang untuk mendirikan PT, padahal satu orang sebagai subjek hukum, dialah pengemban hak dan kewajiban sehingga untuk apalagi dibuat PT, kemudian aturan ini juga bertentangan dengan undang-undang PT yang mengatakan PT didirikan dengan perjanjian," jelas Prof Agus Sardjono.
Acara kemudian ditutup dengan harapan dapat merumuskan terkait mengenai usulan dari hasil keputusan Mahkamah Konstitusi ini agar kepastian dalam norma yang terdapat dalam Undang-undang tersebut tidak bertentangan terhadap konstitusi Negara Republik Indonesia.
Redaktur: Yessica Irene